Menyambut international GIS day

Tulisan ini dibuat untuk memperingati International GIS day yang jatuh pada tanggal 13 November 2019 lalu.

Spatial awareness sudah ada mungkin sejak keberadaan manusia itu sendiri. Gambar yang dibuat manusia purba dengan lokasi berburu sudah menunjukkan bahwa lokasi sudah menjadi bagian penting dalam survival kit manusia.

Seiring dengan perkembangan kegiatan manusia yang semakin majemuk sehingga perjalanan semakin jauh dan pelayaran semakin maju, maka manusia mulai mencoba menerka bentuk bumi. Awalnya manusia berkeyakinan bahwa bentuk bumi berbentuk datar  dengan ujung ujung bumi yang dihuni berbagai makhluk ghaib yang siap menerkam siapa pun yang berlayar hingga ke ujung bumi.

Pengetahuan manusia berkembang. Pun demikian dengan pemahaman manusia tentang bentuk bumi. Perahu layar dengan tiang yang menghilang di penghujung laut, hanya membuktikan bahwa bumi rupanya berbentuk bulat.

Christopher Columbus believes in 1500 that earth is pear-shaped.

Masa berganti masa, dekade berganti dekade, tahun berganti tahun. Datanglah kemudian teknologi komputer. Komputer yang awalnya hanya sebuah mesin hitung sederhana dengan ukuran satu ruangan, mulai menunjukkan kekuatan revolusionernya. Komputer tidak hanya mampu memecahkan penjumlahan dan perkalian dengan lebih cepat, lebih dari itu, kekuatan komputer yang berlipat-lipat setiap tahunnya turut mendorong tumbuhnya bidang-bidang science baru yang sebelumnya belum pernah ada. Salah satunya adalah Geographic Information Sciences (GIS).

GIS pada awalnya diartikan “hanya” sebagai Geographic Information System, kini telah menjadi sebuah bidang pendidikan dan riset sendiri yaitu Geographic Information Sciences. Dua hal yang mendorong berkembangnya GIS adalah perkembangan pengetahuan manusia tentang spatial (atau ruang) dan peningkatan kekuatan computer yang sangat significant dari tahun 1970an.

Awal mula GIS

Konsep awal GIS dari permulaan ia dibuat sampai sekarang masih sama; yaitu sebuah tabel dengan tiga kolom dan peta. Dua kolom pertama tabel tersebut berisi coordinate atau titik X dan Y pada permukaan bumi). Kolom ketiga berisi information yang terjadi pada coordinate yang ditampilkan pada peta pada layar komputer.

Dari konsep dasar tiga kolom ini, GIS berkembang seperti yang kita lihat sekarang. Tidak akan cukup rasanya penulis menuliskan implementasi dari GIS ini, namun cukup kiranya kita ketahui bahwa penggunaan GIS sudah merambah ke bidang diluar Geography itu sendiri. Di bidang lingkungan (environment), monitoring forest loss sudah bisa kita lihat secara – hampir – real time Tautan ke mornitoring forest loss.  GIS juga sudah digunakan untuk membantu mengetahui public health rate. Bagaimana kesehatan penduduk sebuah kota dapat di-estimasi dari structure kota Dan fabric dari kota tersebut. Isu sosial juga sudah menggunakan GIS untuk mengetahui kawasan lingkungan perumahan yang memiliki potensi social conflict. Yang menarik, isu social ini diidentifikasi dengan menganalisa big data yaitu laporan aduan penghuni rumah terhadap tetangga mereka tautan_neighborhood complaints. Tidak ketinggalan juga untuk bidang perencaraan kota, GIS juga turut digunakan untuk men-simulasi-kan pertumbuhan Jakarta Metropolitan Area dari sisi developers.

Apa yang berubah dari GIS?

Konsep dasar GIS masih sama: tabel dan peta. Seperti diceritakan pada awal tulisan ini, yang berubah adalah pemahaman kita terhadap lokasi dan pengetahuan kita tentang perubahan disekitar kita melalui GIS.

GIS hanyalah sebuah tool atau alat. Penulis berpendapat walau pada tiga dekade kebelakang telah banyak perkembangan GIS toolbox yang membantu analisa spasial, GIS toolbox tersebut bukanlah hal yang baru. Toolbox tersebut lebih merupakan translasi konsep yang ada pada bidang seperti matematika atau statistik di tahun 1960an atau lebih awal. Ambil contoh geostatistic toolbox yang merupakan translasi konsep  linear/regressian interpolation pada bidang spasial. Kemudian konsep modelling cellular automaton, yang sebenarnya dimulai dibidang Biologi tentang perkembangan makhluk ber-sel satu yang diadaptasi ke bidang spasial kemudian GIS.

Penulis berpendapat bahwa pemahaman manusia tentang lokasilah yang berubah. Sama halnya ketika bumi awalnya dikira berbentuk datar, kemudian berbentuk buah pir, kemudian berbentuk bulat, dan akhirnya kita ketahui, bumi berbentuk geoid.

Dari awalnya pengetahuan jarak dua buah titik A dan B sekedar dugaan kasar dalam mental map kita (misalnya ketika jarak antar kota-kota di jalur pantai utara di-assosiasikan dengan jarak 4 jam perjalanan dengan berkuda), dengan GIS, kita bisa mengetahui dengan tepat jarak titik A dan B. Lebih baik lagi karena kita bisa mengetahui jarak tersebut dalam beragam pilihan: tarik garis lurus seperti layaknya burung yang terbang, tarik garis lurus dengan mempertimbangkan lekukan bumi, garis berkelok-kelok yang mempertimbangkan geometry jalan, ATAU jarak dua titik dengan mempertimbangkan geometry jalan DENGAN pilihan waktu perjalanan yang mempertimbangkan arus lalu lintas. Lengkap bukan?

Tidak banyak orang yang mebayangkan bahwa pesanan nasi goreng bisa kita lacak lokasinya dan kita bisa prediksi kapan pesanan nasi goreng tersebut tiba di depan pintu rumah kita.

Sekali lagi, dengan konsep yang GIS yang sama, pemahaman kita tentang lokasi-lah yang berkembang.

Apa yang perlu kita lakukan kedepannya?

“Siapa yang menguasai data spasial, dia yang menguasai masa depan”. Demikian petinggi sebuah perusahaan pembuat software GIS pernah berkata. Saat ini walaupun pengguna GIS sudah lebih banyak, opsi software GIS juga sudah berkembang, dan kita sudah mempunya lembaga seperti BIG, masihlah terasa ada knowledge gap antara GIS expert dengan pengguna GIS. Dalam contoh public service seperti perencanaan kota, masihlah terasa ada perbedaan pemahaman tentang GIS atau konsep spatial yang membuat urgency spatial data dan GIS (system) yang baik tidak tersampaikan.

Contoh terkini mengenai kasus pembakaran hutan, mungkin tidak terjadi ketika peta kawasan hutan yang dilindungi sudah sangat detail batasnya sehingga tidak ada alasan buat pengelola lahan melakukan pembakaran hutan.

Penggunaan GIS yang baik hanya dapat dibangun oleh sistem data yang baik pula. Pun demikian dengan data retrieval yang harus diperbanyak pilihannya. Untuk penggunaan kita para perencana kota, adalah sangat wajar jika kita melakukan analisa lokasi dengan menumpang-susun (overlay) beberapa peta sekaligus yang mungkin berisi tentang peta rawan bencana, peta kawasan lindung, peta sempadan sungai atau rencana jalan. Di Australia, peta-peta tersebut sudah tersedia secara gratis pada portal spatial setiap state (setingkat provinsi) melalui jalur wms (web map service) sehingga tidak perlu repot mengunduh peta terkini. Setiap ada perubahan yang dilakukan oleh admin peta akan secara otomatis terhubung dengan peta yang dipakai pengguna. One map policy at its best.

Bagi kita perencana kota di Indonesia dan untuk kepentingan lingkungan, ada perlunya juga untuk membuat peta tentang komunitas yang terpinggirkan, suku-suku terasing, habitat tanaman atau binatang yang terancam punah, atau kawasan dengan bio-diversity atau ecosystem value yang tinggi. Inilah ciri peta (dan tentu saja pengetahuan) dengan ke-khas-an Indonesia yang mungkin tidak dimiliki negara lain.

Yang terakhir, bagaimanapun hebatnya GIS, tetap pada unsur “people”-nya lah yang memegang peranan terpenting. Diperlukan kerjasama yang baik dari para stakeholders (misalnya pembuat kebijakan, praktisi GIS, dan pengguna layanan GIS) untuk membuat konsep GIS tersampaikan dengan baik sehingga setiap stakeholders memiliki keyakinan yang sama bahwa sebuah kebijakan yang diimplementasikan pada suatu ruang, tidak akan dapat memberikan layanan yang baik dan benar tanpa didukung data spasial yang baik.

Indo_earthquakes_2017_2018_2019

With GIS, we know why Indonesia government needs to move its capital to Kalimantan.